RUMAHKU YANG TERENDAM
Nur Farichatul Fitriah/Fitriah/Richa

Pada tanggal 29 Mei 2006 pagi itu aku sekolah seperti biasa sebelum aku sekolah aku selalu berbelanja terlebih dahulu. Waktu aku berbelanja aku merasa ada goncangan dan aku kira itu goncangan gempa ternyata dugaanku betul. Setelah aku berbelanja aku pulang dan aku mandi terus sekolah setelah sampai di sekolah kami berbaris seperti biasa dan setelah itu kami masuk kelas, tapi sebelum kita masuk ke kelas wali murid teman-temanku datang buat jemput teman-temanku dan kebetulan dari musholla barat sekolahku mengumumkan bahwa warga desa Jatirejo diharap segera mengungsi, karena tanggul sebelah utara sudah Jebol.

Lalu aku bergegas pulang, aku sangat sedih karena aku akan meninggalkan rumah dan aku kira itulah saat terakhirku melihat rumahku ternyata tidak. Setelah aku sampai di rumah aku, ibu dan ayah bergotong royong mengambil barang danri dalam rumah kami sangat tergopoh-gopoh sampai-sampai 3 almariku, 2 kasurku, 1 TV ku, 2 radioklu 1 meja belajarku dan lain-lain dan masih banyak lagi yang tertinggal di sana.

Hari berganti hari aku merasa hidupku tidak berarti lagi, aku merasa begitu putus asa menjalani hidup ini tapi orang tuaku guru-guruku dan teman-temanku tak henti-hentinya memberi semangat untuk ku, Ibuku bilang” udahlah Richa gak usah terlalu difikirkan kamu berdo’a saja dan kita bisa kembali lagi, lagi pula percuma kamu fikirin gak bisa kembali seperti dulu lagi” dan aku menjawab “Amiin.”

Keesokan harinya aku memaksa ayah agar ayah mau mengajak aku ke Jatirejo lagi setelah cukup lama aku membujuk ayah akhirnya ayah mau juga kesana aku begitu puas walaupun aku di sana cuma sekitar 5 jam tapi rasa puas itu tak berlangsung lama.

Setelah itu aku kembali ke pengungsian pada pukul 13.00 WIB. Lalu aku tidur dengan pulasnya. Lalu pada pukul 19.00 wib, Ayah mengajak aku ke alun-alun dan sampai di paspor pada pukul 22.00 lalu aku tidur dengan pulasnya.

Setelah 1 – 2 minggu kemudian aku merasa sangat sedih aku mulai merasa tidak nyaman mulai dari tidur dan sekolah yang hanya beralas tikar di depan kamarku. Makan dan belajar aku juga merasa tidak begitu nyaman karena udah tempatnya kotor, bau dan ramai sekali. Aku begitu terganggu dengan situasi dan kondisi di pasar baru porong setelah lama aku di sana tiba-tiba aku kangen lagi. Sama Jatirejo lalu aku ajak ayah, ternyata ayah mau juga. Aku ajak setelah sampai disana aku menangis an aku menyuruh ayah agar ayah meninggalkanku sendiri.

Setelah ayah ninggalin aku disitu aku berteriak “Ya Allah tolonglah kembalikan rumahku, sekolahku dan pondokku apa salah dan dosa–dosaku sehingga engkau memberikan cobaan yang begitu berat bagiku tolong mudahkanlah cobaan yang yang telah engkau berikan kepadaku dan tabahkanlah hatiku dalam menjalani cobaan yang telah kau berikan padaku tiba-tiba dari belakangku ayah menjawab “Amiin” disini aku menemukan banyak harapan terutama harapan agar aku bisa pulang ke Jatirejo lagi.

Tapi ternyata harapanku pudar begitu saja lumpur begitu cepat melanda desa Jatirejo sampai-sampai Pondok dan sekolah yang dulu aku kira gak akan tenggelam ternyata tenggelam juga. Memang di pasar baru porong aku merasa berkecukupan dengan banyaknya bantuan mulai dari makan, minum, snack, alat-alat sekolah dan yang lainnya, tapi itu tetap tidak bisa membuat hatiku sesenang di Jatirejo yang lalu.

Hari berganti hari, munggu berganti minggu dan bulan berganti bulan aku bukannya merasa sedikit nyaman,; tapi aku malah merasa kenyamanan itu hilang begitu saja, aku terus berdo’a kepada Allah agar Allah memberikan aku tempat yang layak untuk belajar, agar aku bisa menggapai cita-citaku agar cita-cita yang dulu aku harapkan tidak pudar begitu saja agar aku bisa berkumpul dengan teman-temanku dan agar “Lapindo” Cepat mengganti rumah, sekolah dan pesantren yang telah dia tenggelamkan.

Semua siswa ingin mempunyai kelas sendiri, yang bersih, berbau harus dan tidak mendengar suara yang begitu keas, tapi aku disini tidak bisa merasa senang karena duduk tidak memakai bangku, kelasnya kotor, bau dan terdengar jeritan adik-adikku karena kelasku cuma dibatasi dengan tabir yang tak begitu tebal, dan yang lebih parah dengan keadaan kami yang seperti ini, kami menjadi tak semangat belajar tapi, para dewan guru tetap mendukung kita dan menyuruh kita agar kita tetap tegar menghadapi bencana yang silih berganti.

Dan mulai sekarang hingga kapanpun aku tetap tidak bisa memaafkan orang-orang yang sudah ceroboh, yang sudah menenggelamkan rumah, sekolah dan pesantren. Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada mereka dan mudah-mudahan mere cepat mengganti rumah, sekolah dan pesantre.

Posted in |

0 comments: