LAPINDO, OH NO

Nikmatul Maula (SMU Bhayangkari)

Hari-hariku selalu kulewati dengan senyuman, canda-tawa, gurauan, dengan sanak-famili di kampung halamanku tercinta, di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Tapi kini….. senyum, canda-tawa berubah menjadi kesedihan yang mendalam buatku. Peristiwa itu merenggut rumah sederhanaku, harta bendaku, bahkan aku berpisah dengan teman-temanku yang kucintai selama ini.

Tapi apa mau dikata peristiwa itu sudah terjadi 3 tahun yang lalu, tapi luka in terus membekas di hatiku, di pikiranku bahkan di hidupku. Peristyiwa yang gak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun, “ Peristiwa Lumpur Lapindo.”

Masa kanak-kanak, kuhabiskan di sana tapi sekarang aku harus meninggalkan rumah sederhana dan pindah di pengungsian Porong dengan tetanggaku. Awalnya, aku tak sanggup menjalani kehidupan ini, kehidupan yang pernah terlintas sebelumnya di pikiranku. Kehidupan yang sangat berat bagiku juga mungkin bagi semua orang yang menjalani akibat dampak lumpur Lapindo. Peristiwa lumpur Lapindo sangat mengubah kepribadianku, yang semula aku periang, mudah bergaul tapi sekarang aku sedikit tertutup dan agak pendiam. Semua karena Lapindo. Orang-Orang yang tak bersalah terkena dampaknya, tapi kemana orang-orang yang besalah itu? dan mana tanggungjawab mereka?

Ganti-rugi tak kunjung terselesaikan, kita pun sebagai korban atas keserakahan oknum-oknum tertentu. Kita tidak menikmati hasil, tapi kita memperoleh kesengsaraan itu, aku hanya sanggup berdo’a agar ganti-rugi segera terealisasi dan meninggalkan tempat pengungsian itu. Tapi itu mungkin masih mimpi buat aku dan para korban Lapindo lainnya.

Aku ingin segera meninggalkan tempat pengungsian ini, tempat yang sangat ramai, tak nyaman buatku. Tapi apa yang harus kulakukan. Aku hanya bisa menangis dalam hati di dalam gelapnya malam. Aku tak mau menyesali takdir. Aku harus bangkit, harus tetap semangat untuk hidupku satu harapan besar selalu aku panjatkan agar pemerintah dan segenap oknum-oknum Lapindo segera membayar 80 % sisa ganti rugi.

Seandainya ganti rugi semuanya terlunasi, apakah aku bisa tersenyum seperti semula? Apakah canda-tawa, keriangan akan kembali lagi? Mungkin dari luar aku bisa tersenyum lega, tapi di dalam hatiku tak mungkin aku bisa tersenyum ikhlas, karena rumah sederhana telah hilang ditelan lumpur. Mungkin aku bisa membuat rumah yang lebih mewah dan megah tapi kenanganku di rumah sederhana tak bisa diganti oleh rupiah yang banyak.

Mungkin kerugian terbesar buat aku yang tidak banyak kehilangan harta benda tapi terletak pada psikologi/kejiwaanku. Tapi aku juga bisa ambil kesimpulan hidup itu tidak selalu enak, heavan dan easy going. Tapi hidup itu suatu perjuangan. Disini aku bisa belajar mandiri, hidup yang tidak mungkin aku dapat dimana pun.

Posted in |

0 comments: