Keserakahan Manusia
Dzurrotun Nashihah alias Endur(kelas VII SMP Dharma Wanita II Porong)
Karena Lumpur Aku Kehilangan Semuanya
Mu’aifah (Kelas VII B SMPN 2 Porong)
Waktu itu aku dan keluargaku terkena musibah dan tak hanya keluargaku tapi semua orang dan teman yang telah tinggal di desaku, desa kami. Waktu itu, aku dan keuargaku panik setelah aku berkemas barangku, aku mengungsi di Pasar Baru, Porong sampai sekarang.
Sekarang aku masih teringat kejadian waktu itu semua tampak jelas di ingatanku tapi aku masih bersyukur karena keluargaku telah selamat, luberan lumpur itu telah menghancurkan semua yang kupunya rumah satu-satunya telah hancur karena luberan lumpur itu. Ketika aku mengungsi aku belum terbiasa dengan semua ini, apalagi ketika malam setelah kejadian waktu itu aku melihat ayah dan ibuku yang tidak bisa tidur karena terbebani dengan kesedihan hati mereka.
Tak tampak lagi senyum di wajah kedua orang tuaku bagaimana tidak! Semua telah hilang dalam sekejap dan kini hanya kesedihan yang kurasakan.
Kalau saja waktu dapat berputar kembali dan aku boleh memilih aku tidak ingin semua itu terjadi dan aku selalu berdo’a agar lumpur itu dapat teratasi. Dan aku akan mengenang semua yang terjadi dan tak akan melupakannya. Dan sampai sekarang aku mengungsi di Pasar Baru Porong, di sinilah tempat berteduhku dan tempat tidurku tempat keluargaku berkumpul dan melewati hari-hari.
Harapan Yang Hampir Musnah
Cici Dwi Indayani (MAN Bangil)
Sebuah ledakan hebat merusak keheningan. Riuh suara gemuruh datang. Teriakan-teriakan penuh panik berlomba dengan suara gemuruh entah darimana datangnya. Dengan sekejap saja air bah bercampur lumpur panas menghantam rumah-rumah kami. Masih kuingat suara minta tolong dari para tetanggaku.
“Ayo cepat San, Kita harus pergi dari sini. Berbahaya. Bawa yang perlu-perlu saja. Jangan pentingkan hartamu, urus nyawamu!” Teriak ayah.
Sedangkan aku hanya dapat berdiri mematung. Gelisah. Sebenarnya aku merasa penting akan semuanya. Tapi apa boleh buat. Yang kucari hanyalah ijazah S1-ku. Setelah itu segera kami pergi meninggalkan rumah, puing-puing kayu menghantam tubuhku. Ayah segera menolong dan menyeretku dari genang lumpur bercampur gas yang sudah selutut itu. Aku bergidik. Setelah kusadari, ah, ijazahku hanyut setelah terkena benda tadi. Aku menoleh ke belakang, sudah tidak mungkin mencarinya lagi, , kini nasibku hanya impian semata.
Beberapa bulan yang lalu, aku menyelesaikan studiku di salah satu fakultas swasta di Sidoarjo. Aku nyambi sambil mencari nafkah untuk biaya kuliahku. Ayah, aah, ayah sudah tidak seperti dulu lagi, gaji ayah tidak mungkin cuukp untuk makan sehari-hari di tambah biaya kuliahku yang tidak sedikit.
“Hasan kerja nggak apa-apa. Tapi jangan lupa sholat dan jaga kesehatan. Rajinlah kamu nak,” begitu kira-kira petuah ibuku.
Aku sebagai anak sulung wajib bekerja keras untuk masa depanku, juga keluargaku. Setiap hari, aku bolak-balik ke kampus dan ke bengkel tempatku bekerja sambilan. Dan aku bertekad akan membantu orang tuaku dengan cara apapun.
Sedangkan adik-adikku masih berumur 12 tahun dan yang bungsu berumur 7 tahun. Mereka masih kecil. Kondisi ayah yang sakit-sakitan menyulitkan perekonomian keluarga kami.
Masih kuingat saat pertama aku masuk kuliah jurusan otomotif. Ayah meminjam uang sana-sini hanya demi memasukkanku ke Universitas itu. Sungguh kerja keras yang tidak sia-sia karena aku sudah menyelesaikan S1-ku.
Namun setelah lumpur Lapindo memporak-porandakan harta kami yang cuma sedikit itu. Hidup kami hanya tinggal impian. Dalam tempat pengungsian padat dan sempit itu, aku temenung. Tak dapat kubayangkan apa yang akan aku perbuat setelah ini. Bagaimana nasib ayah, ibu, dan adik-adikku? Bagaimana dengan usaha dan kerja keras ayah demi kuliahku itu? Apakah hanya tinggal kenangan yang tak ada manfaatnya kini. Oh, ayah maafkan Hasan?
Beberapa minggu sudah kami tinggal ditempat pengungsian. Amin, teman seusiaku, mengajakku berbuat sesuatu untuk perubahan. Ya! Kami mencari kerja. Kesana-kemari kami mondar-mandir. Aku sudah pasrah akan nasibku. Kuserahkan semuanya pada Allah.
“Akhirnya kita bisa bekerja, mekipun hanya sebagai tukang pemecah batu ya.”
Suara Amin tak terdengar semangat sedikitpun. Meskipun kata-katanya mengandung syukur yang amat sangat. Aku tersenyum getir mendengar kata-kata Amin.
Sehari, dua hari, satu bulan sudah aku dan Amin bekerja sebagai kuli pemecah batu, kulitku yang dulu bersih, kini hitam legam.
Otot-ototku juga mulai tampak bermunculan. Tak jarang sesekali aku menangis. Menangisi nasibku sendiri.
“Apa ijazah S1 ku yang berjuta-juta itu hanya dihargai dengan pekerjaan berat ini? Pantaskah?” Aku bergumam dalam hati, lirih.
“San, mau melihat rumah kita? Sudah bersih lo. Tapi belum layak dihuni. Kita lihat yuk!” Pinta Amin. Aku hanya mengangguk.
Kulihat puing–puing berserakan disana-sini. Lumpur sudah mulai surut. Tinggal satu jengkal saja. Aku berdiri pilu memandang rumah tercintaku. Rumah mungil yang damai. Namun kini menjadi, ah aku tak tahu lagi apa namanya. Kuputuskan untuk melihat ke dalam. Sangat tak karuan. Memang sangat tidak layak di huni.