Terima Kasih

Tiga tahun bencana Lapindo telah meluluhlantakkan segala sisi hidup masyarakat di lebih dari 9 desa di kecamatan Porong dan Jabon, Sidoarjo. Tiga tahun pula para korban sibuk menuntut penyelesaian ganti rugi tanah dan bangunan yang penyelesaiannya sulit bukan kepalang.

Bapak-bapak korban Lapindo tak punya waktu untuk ngomong soal sekolah anak mereka yang rusak, kesehatan mereka yang terancam, air sumur yang tercemar, dan munculnya gas dan bau busuk di lingkungan mereka. Apalagi berfikir untuk mengatasi soal-soal di atas. Waktu mereka praktis habis untuk mengurusi ganti rugi tanah.

Melihat kondisi memprihatinkan ini Radio Suara Porong, radio komunitas korban Lapindo di pengungsian Pasar Baru Porong, pertengahan April lalu, berinisiatif menyelenggarakan lomba menulis untuk anak-anak korban Lapindo. Tujuannya mulia; menjadi ajang anak-anak untuk mencurahkan pengalaman pahitnya selama tiga tahun menjalani hidup yang tak menentu.

Keseluruhan ada 100 anak yang berpartisipasi dalam lomba menulis ini. Ceritanya macam-macam, ada anak yang bercerita sekolah mereka yang pindah-pindah, terus ada pula yang cerita ayahnya yang dimusuhi tetangganya karena berjuang untuk memasukkan peta terdampak, ada pula yang bercerita tentang pengalaman demo di Jakarta.

Untuk sementara hanya 11 yang bisa ditampilkan di blog ini. Karya-karya tersebut adalah pemenang dari masing-masing kategori (baca: SD, SMP, SMU). Keseluruhan cerita ini akan ditampilkan dalam waktu dekat.

Penutupnya adalah ucapan terima kasih buat Jatam, Air Putih, Satu Dunia, Kontras, Cak Bagio yang telah menyisihkan rezekinya buat pelaksanaan lomba ini. Tanpa bantuan dari kawan-kawan ini mustahil lomba ini bisa dilaksanakan. Tak lupa terima kasih banyak buat panitia di Porong, khususnya Mbak Kami dan Mas Bandi, yang telah mengatur acara ini dengan baik. Rere dan Jicek yang dengan penuh dedikasi melakukan penilaian kebut lomba ini.

Harapan paling dalam adalah semoga cerita-cerita anak ini dapat mengetuk hati semua orang, sekedar memberitahu di dekat kita masih ada ribuan korban Lapindo yang nasibnya tak menentu.

Terima kasih.

Posted in | 0 comments

DI DESAKU DAN PASPOR
Nur Ainiyah (Kelas V SD Renokenongo II)

Dahulu di desaku sebelum ada lumpur Lapindo aku tenang-tenang saja. Aku sangat ceria bermain bersama teman-temanku. Aku selalu masuk sekolah. Teman-temanku sekolah sangat banyak tapi semenjak ada lumpur Lapindo semua berubah.

Aku kehilangan semua teman-temanku aku sangat sedih ditambah lagi rumah dan sekolahku tenggelam lumpur Lapindo semuanya tenggelam lumpur Lapindo aku sangat sedih sekali. Sekarang aku hidup bersama keluargaku di pengungsian pasar baru Porong alias paspor kalau tidur gak enak banyak nyamuknya dan aku gak bisa tidur.

Aku hidup di situ merasa kekurangan teman. Aku berpisah dengan teman-temanku sekolah. Kalau belajar gak bisa konsentrasi. Meskipun di paspor ramai tapi aku tetap sedih karena itu rumahku satu-satunya, dan aku tidak punya tempat tinggal lagi. Aku sangat ingin sekali punya rumah biar tidurnya bisa nyaman dan tidak ada nyamuknya dan aku bisa belajar dengan tenang sekarang aku sekolahnya nggak enak.

Aku ingin sekolah di desaku sendiri. Kenapa kok bisa aku menjadi korban lumpur Lapindo dan sampai sekarang rumah ku masih tenggelam. Aku ingin sekali keluar dari pasar baru porong, aku sudah nggak betah tinggal di pasar baru porong, di sini itu gak enak aku ingin sekali punya rumah sendiri, biar aku bisa rajin belajar lagi, dan sekolah yang nyaman, aku sangat merasa kekurangan teman-teman. Di sini teman-temanku sedikit, dulu banyak sekali.

Semoga nanti kalau aku punya rumah aku bisa ketemu teman-temanku yang dulu dan aku bisa ceria lagi, jangan sampai hal ini terjadi lagi. Ya Tuhan jangan sampai rumahku yang baru nanti tenggelam lumpur Lapindo lagi. Aku berdo’a agar lumpur Lapindo cepat berhenti biar gak ada desa yang tenggelam lagi. Semua jadi senang dan bahagia and aku juga ikut senang. Semoga do’a aku tercapai. Aku tutup dulu ya.


Posted in | 0 comments

RUMAHKU YANG TERENDAM
Nur Farichatul Fitriah/Fitriah/Richa

Pada tanggal 29 Mei 2006 pagi itu aku sekolah seperti biasa sebelum aku sekolah aku selalu berbelanja terlebih dahulu. Waktu aku berbelanja aku merasa ada goncangan dan aku kira itu goncangan gempa ternyata dugaanku betul. Setelah aku berbelanja aku pulang dan aku mandi terus sekolah setelah sampai di sekolah kami berbaris seperti biasa dan setelah itu kami masuk kelas, tapi sebelum kita masuk ke kelas wali murid teman-temanku datang buat jemput teman-temanku dan kebetulan dari musholla barat sekolahku mengumumkan bahwa warga desa Jatirejo diharap segera mengungsi, karena tanggul sebelah utara sudah Jebol.

Lalu aku bergegas pulang, aku sangat sedih karena aku akan meninggalkan rumah dan aku kira itulah saat terakhirku melihat rumahku ternyata tidak. Setelah aku sampai di rumah aku, ibu dan ayah bergotong royong mengambil barang danri dalam rumah kami sangat tergopoh-gopoh sampai-sampai 3 almariku, 2 kasurku, 1 TV ku, 2 radioklu 1 meja belajarku dan lain-lain dan masih banyak lagi yang tertinggal di sana.

Hari berganti hari aku merasa hidupku tidak berarti lagi, aku merasa begitu putus asa menjalani hidup ini tapi orang tuaku guru-guruku dan teman-temanku tak henti-hentinya memberi semangat untuk ku, Ibuku bilang” udahlah Richa gak usah terlalu difikirkan kamu berdo’a saja dan kita bisa kembali lagi, lagi pula percuma kamu fikirin gak bisa kembali seperti dulu lagi” dan aku menjawab “Amiin.”

Keesokan harinya aku memaksa ayah agar ayah mau mengajak aku ke Jatirejo lagi setelah cukup lama aku membujuk ayah akhirnya ayah mau juga kesana aku begitu puas walaupun aku di sana cuma sekitar 5 jam tapi rasa puas itu tak berlangsung lama.

Setelah itu aku kembali ke pengungsian pada pukul 13.00 WIB. Lalu aku tidur dengan pulasnya. Lalu pada pukul 19.00 wib, Ayah mengajak aku ke alun-alun dan sampai di paspor pada pukul 22.00 lalu aku tidur dengan pulasnya.

Setelah 1 – 2 minggu kemudian aku merasa sangat sedih aku mulai merasa tidak nyaman mulai dari tidur dan sekolah yang hanya beralas tikar di depan kamarku. Makan dan belajar aku juga merasa tidak begitu nyaman karena udah tempatnya kotor, bau dan ramai sekali. Aku begitu terganggu dengan situasi dan kondisi di pasar baru porong setelah lama aku di sana tiba-tiba aku kangen lagi. Sama Jatirejo lalu aku ajak ayah, ternyata ayah mau juga. Aku ajak setelah sampai disana aku menangis an aku menyuruh ayah agar ayah meninggalkanku sendiri.

Setelah ayah ninggalin aku disitu aku berteriak “Ya Allah tolonglah kembalikan rumahku, sekolahku dan pondokku apa salah dan dosa–dosaku sehingga engkau memberikan cobaan yang begitu berat bagiku tolong mudahkanlah cobaan yang yang telah engkau berikan kepadaku dan tabahkanlah hatiku dalam menjalani cobaan yang telah kau berikan padaku tiba-tiba dari belakangku ayah menjawab “Amiin” disini aku menemukan banyak harapan terutama harapan agar aku bisa pulang ke Jatirejo lagi.

Tapi ternyata harapanku pudar begitu saja lumpur begitu cepat melanda desa Jatirejo sampai-sampai Pondok dan sekolah yang dulu aku kira gak akan tenggelam ternyata tenggelam juga. Memang di pasar baru porong aku merasa berkecukupan dengan banyaknya bantuan mulai dari makan, minum, snack, alat-alat sekolah dan yang lainnya, tapi itu tetap tidak bisa membuat hatiku sesenang di Jatirejo yang lalu.

Hari berganti hari, munggu berganti minggu dan bulan berganti bulan aku bukannya merasa sedikit nyaman,; tapi aku malah merasa kenyamanan itu hilang begitu saja, aku terus berdo’a kepada Allah agar Allah memberikan aku tempat yang layak untuk belajar, agar aku bisa menggapai cita-citaku agar cita-cita yang dulu aku harapkan tidak pudar begitu saja agar aku bisa berkumpul dengan teman-temanku dan agar “Lapindo” Cepat mengganti rumah, sekolah dan pesantren yang telah dia tenggelamkan.

Semua siswa ingin mempunyai kelas sendiri, yang bersih, berbau harus dan tidak mendengar suara yang begitu keas, tapi aku disini tidak bisa merasa senang karena duduk tidak memakai bangku, kelasnya kotor, bau dan terdengar jeritan adik-adikku karena kelasku cuma dibatasi dengan tabir yang tak begitu tebal, dan yang lebih parah dengan keadaan kami yang seperti ini, kami menjadi tak semangat belajar tapi, para dewan guru tetap mendukung kita dan menyuruh kita agar kita tetap tegar menghadapi bencana yang silih berganti.

Dan mulai sekarang hingga kapanpun aku tetap tidak bisa memaafkan orang-orang yang sudah ceroboh, yang sudah menenggelamkan rumah, sekolah dan pesantren. Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada mereka dan mudah-mudahan mere cepat mengganti rumah, sekolah dan pesantre.

Posted in | 0 comments

Pengalaman di Pengungsian
M. Hidayani (kelas V SD Renokenongo I)

Pada saat itu aku mengerjakan PR tiba-tiba aku mendengar suara yang sangat keras dan aku tidak bisa belajar karena ada suara-suara yang sangat keras dan aku ingin bertemu dengan teman-teman yang dulu dan aku ingin ketemu, aku tidak mau berpisah dengan teman-teman. Aku mau teman-temanku dan aku tidak mau terkena lumpur.

Aku mau kembali lagi dengan teman-teman dan aku mau sekolahku kembali lagi kayak dulu dan aku mau kembali ke rumah dan ke sekolah yang aku gak mau belajar terganggu lagi dan aku mau semua teman-temanku pun berpisah dengan teman-temanku dan aku mau semua kembali kayak dulu lagi dan semua orang dan semua pun kembali kayak dulu lagi dan semua orang di pengungsian pun harus kembali kayak yang di rumah dulu dan semua pun kembali kayak dulu lagi dan aku kepingin kayak dulu lagi dan aku tidak mau rumah yang kena lumpur dan semua pun harus bersama kayak dulu lagi.

Kalau semua bisa ganti yang baru dan aku mau tidak ada yang menderita dan aku bisa kembali kayak dulu aku ingin punyak rumah. Tidak enak di pengungsian banyak nyamuk dan dingin, panas, belajar jadi terganggu di situ ramai tidak bisa konsentrasi. Jadi susah mikirnya dan teman-teman aku pun juga bilang demikian gak enak ada nyamuk dan kalo mau mandi aku harus mengantri dulu. Karena aku harus mengantri kalau tidak mengantri dan aku kalau dan aku sekolah aku mandi mengantri kalo tiak bisa mengantri aku tidak bisa mandi aku harus tidak akan bisa sekolah dan belajar inilah pengalaman di pengungsian.


Posted in | 0 comments

Berani Untuk Jujur
Datul (SD Renokenongo I, 3 tahun di pengungsian Pasar Baru, Porong)

“Datul,” panggil Bu Nadia. Hari ini dibagikan hasil ulangan tengah semester, tepatnya, ulangan matematika. Saat aku maju untuk menerima hasil ulangan, Bu Nadia Wali Kelas ku menatapku dengan tajam

“Belajar yang rajin ay Tul, nilaimu Jatuh, “ suaranya lembut tapi keras ditelingaku.

Benarlah, ketika kubuka kertas ulangan itu, nilaiku hanya 30, oh Tuhan! Apa ini? Nilai 30! apa yang harus kukatakan pada ibu, bila ia bertanya nanti sepanjang pelajaran hari ini disekolah, aku tak bisa berkonsentrasi. Pikiranku melayang tak karuan.

Saat pulang, aku langsung ke kamar, tak kuhiraukan panggilan Ibu untuk makan. Aku memutar otak untuk menutupi nilai jelekku. Ku tatap angka 30 itu lama sekali, sampai akhrnya kutemukan cara yang jitu. Mau tahu?

Kuubah angka tiga itu menjadi delapan dan coretan pada angka yang salah ku beri pembetulan. Ah, ibu pasti tidak tahu. Pikiranku bisa jahat juga, ya?

“Mana hasil ulangannya, Tul?” Tanya Ibu saat aku makan. Deg. "Sebentar kuambilkan Bu,” jawabku mencoba santai.

“Bagus juga ya. Tapi kok banyak kesalahan yang di betulkan begini?” Komentar Ibu.

“Nggak tahu ya, Bu Guru juga yang koreksi, jawabku menghindar. Beruntung ibu tidak bertanya lagi. Namun hal itu sangat menyiksaku, bahkan sampai malam hari, saat aku pergi tidur. Apalagi saat kudengar suara mesin jahit ibu. Selarut itu ia masih bekerja, kok tega aku membohonginya. Aku pun keluar kamar. Aku memeluk Ibu dari belakang dan meminta maaf atas kebohonganku.

“Ibu senang akhirnya Datul mau jujur. Ibu sebenarnya sudah curiga. Jangan diulangi lagi ya sayang” kata ibu.



Posted in | 0 comments

Tragedi Lumpur Lapindo Brantas
Hendra Hermawan (kelas VI SD Renokenongo I)

Pada tanggal 26 Mei 2006, petugas PT. Lapindo Berantas mengebor di daerah Reno tiba-tiba muncul gas bercampur lumpur yang keluar dari perut bumi yang baunya menyengat sekali sehingga yang ada di sekitar sumur lumpur banyak orang yang sakit sesak napas.

Tidak lama kemudian, ada pipa yang didalam bumi itu bergesek di dalam tanah yang sangat dalam, lalu itu meledak yang ada di dalam Bumi itu mengeluarkan api yang sangat besar yang merengut nyawa orang yang lagi bekerja yang ada di Lapindo.

Lalu tidak lama lagi rumah-rumah yang ada di desa Reno sedikit demi sedikit ia akan tenggelam. Rumahku juga tenggelam lalu tidak lama lagi pipa-pipa yang panjang yang berasal dari besi dan karet lalu lumpur-lumpur itu di buang di sungai porong.

Berapa banyak yang dikeluarkan untuk korban lumpur panas yang ada di pengungsian akibat ada bencana lumpur panas lapindo. Lalu saya terpisah dari tetangga dan teman-teman saya lalu lapindo membuat tanggul-tanggul baru.

Posted in | 0 comments