Terima Kasih
Tiga tahun bencana Lapindo telah meluluhlantakkan segala sisi hidup masyarakat di lebih dari 9 desa di kecamatan Porong dan Jabon, Sidoarjo. Tiga tahun pula para korban sibuk menuntut penyelesaian ganti rugi tanah dan bangunan yang penyelesaiannya sulit bukan kepalang.
Bapak-bapak korban Lapindo tak punya waktu untuk ngomong soal sekolah anak mereka yang rusak, kesehatan mereka yang terancam, air sumur yang tercemar, dan munculnya gas dan bau busuk di lingkungan mereka. Apalagi berfikir untuk mengatasi soal-soal di atas. Waktu mereka praktis habis untuk mengurusi ganti rugi tanah.
Melihat kondisi memprihatinkan ini Radio Suara Porong, radio komunitas korban Lapindo di pengungsian Pasar Baru Porong, pertengahan April lalu, berinisiatif menyelenggarakan lomba menulis untuk anak-anak korban Lapindo. Tujuannya mulia; menjadi ajang anak-anak untuk mencurahkan pengalaman pahitnya selama tiga tahun menjalani hidup yang tak menentu.
Keseluruhan ada 100 anak yang berpartisipasi dalam lomba menulis ini. Ceritanya macam-macam, ada anak yang bercerita sekolah mereka yang pindah-pindah, terus ada pula yang cerita ayahnya yang dimusuhi tetangganya karena berjuang untuk memasukkan peta terdampak, ada pula yang bercerita tentang pengalaman demo di Jakarta.
Untuk sementara hanya 11 yang bisa ditampilkan di blog ini. Karya-karya tersebut adalah pemenang dari masing-masing kategori (baca: SD, SMP, SMU). Keseluruhan cerita ini akan ditampilkan dalam waktu dekat.
Penutupnya adalah ucapan terima kasih buat Jatam, Air Putih, Satu Dunia, Kontras, Cak Bagio yang telah menyisihkan rezekinya buat pelaksanaan lomba ini. Tanpa bantuan dari kawan-kawan ini mustahil lomba ini bisa dilaksanakan. Tak lupa terima kasih banyak buat panitia di Porong, khususnya Mbak Kami dan Mas Bandi, yang telah mengatur acara ini dengan baik. Rere dan Jicek yang dengan penuh dedikasi melakukan penilaian kebut lomba ini.
Harapan paling dalam adalah semoga cerita-cerita anak ini dapat mengetuk hati semua orang, sekedar memberitahu di dekat kita masih ada ribuan korban Lapindo yang nasibnya tak menentu.
Terima kasih.
Nur Ainiyah (Kelas V SD Renokenongo II)
Dahulu di desaku sebelum ada lumpur Lapindo aku tenang-tenang saja. Aku sangat ceria bermain bersama teman-temanku. Aku selalu masuk sekolah. Teman-temanku sekolah sangat banyak tapi semenjak ada lumpur Lapindo semua berubah.
Aku kehilangan semua teman-temanku aku sangat sedih ditambah lagi rumah dan sekolahku tenggelam lumpur Lapindo semuanya tenggelam lumpur Lapindo aku sangat sedih sekali. Sekarang aku hidup bersama keluargaku di pengungsian pasar baru Porong alias paspor kalau tidur gak enak banyak nyamuknya dan aku gak bisa tidur.
Aku hidup di situ merasa kekurangan teman. Aku berpisah dengan teman-temanku sekolah. Kalau belajar gak bisa konsentrasi. Meskipun di paspor ramai tapi aku tetap sedih karena itu rumahku satu-satunya, dan aku tidak punya tempat tinggal lagi. Aku sangat ingin sekali punya rumah biar tidurnya bisa nyaman dan tidak ada nyamuknya dan aku bisa belajar dengan tenang sekarang aku sekolahnya nggak enak.
Aku ingin sekolah di desaku sendiri. Kenapa kok bisa aku menjadi korban lumpur Lapindo dan sampai sekarang rumah ku masih tenggelam. Aku ingin sekali keluar dari pasar baru porong, aku sudah nggak betah tinggal di pasar baru porong, di sini itu gak enak aku ingin sekali punya rumah sendiri, biar aku bisa rajin belajar lagi, dan sekolah yang nyaman, aku sangat merasa kekurangan teman-teman. Di sini teman-temanku sedikit, dulu banyak sekali.
Semoga nanti kalau aku punya rumah aku bisa ketemu teman-temanku yang dulu dan aku bisa ceria lagi, jangan sampai hal ini terjadi lagi. Ya Tuhan jangan sampai rumahku yang baru nanti tenggelam lumpur Lapindo lagi. Aku berdo’a agar lumpur Lapindo cepat berhenti biar gak ada desa yang tenggelam lagi. Semua jadi senang dan bahagia and aku juga ikut senang. Semoga do’a aku tercapai. Aku tutup dulu ya.
Nur Farichatul Fitriah/Fitriah/Richa
Pada tanggal 29 Mei 2006 pagi itu aku sekolah seperti biasa sebelum aku sekolah aku selalu berbelanja terlebih dahulu. Waktu aku berbelanja aku merasa ada goncangan dan aku kira itu goncangan gempa ternyata dugaanku betul. Setelah aku berbelanja aku pulang dan aku mandi terus sekolah setelah sampai di sekolah kami berbaris seperti biasa dan setelah itu kami masuk kelas, tapi sebelum kita masuk ke kelas wali murid teman-temanku datang buat jemput teman-temanku dan kebetulan dari musholla barat sekolahku mengumumkan bahwa warga desa Jatirejo diharap segera mengungsi, karena tanggul sebelah utara sudah Jebol.
Lalu aku bergegas pulang, aku sangat sedih karena aku akan meninggalkan rumah dan aku kira itulah saat terakhirku melihat rumahku ternyata tidak. Setelah aku sampai di rumah aku, ibu dan ayah bergotong royong mengambil barang danri dalam rumah kami sangat tergopoh-gopoh sampai-sampai 3 almariku, 2 kasurku, 1 TV ku, 2 radioklu 1 meja belajarku dan lain-lain dan masih banyak lagi yang tertinggal di sana.
Hari berganti hari aku merasa hidupku tidak berarti lagi, aku merasa begitu putus asa menjalani hidup ini tapi orang tuaku guru-guruku dan teman-temanku tak henti-hentinya memberi semangat untuk ku, Ibuku bilang” udahlah Richa gak usah terlalu difikirkan kamu berdo’a saja dan kita bisa kembali lagi, lagi pula percuma kamu fikirin gak bisa kembali seperti dulu lagi” dan aku menjawab “Amiin.”
Keesokan harinya aku memaksa ayah agar ayah mau mengajak aku ke Jatirejo lagi setelah cukup lama aku membujuk ayah akhirnya ayah mau juga kesana aku begitu puas walaupun aku di sana cuma sekitar 5 jam tapi rasa puas itu tak berlangsung lama.
Setelah itu aku kembali ke pengungsian pada pukul 13.00 WIB. Lalu aku tidur dengan pulasnya. Lalu pada pukul 19.00 wib, Ayah mengajak aku ke alun-alun dan sampai di paspor pada pukul 22.00 lalu aku tidur dengan pulasnya.
Setelah 1 – 2 minggu kemudian aku merasa sangat sedih aku mulai merasa tidak nyaman mulai dari tidur dan sekolah yang hanya beralas tikar di depan kamarku. Makan dan belajar aku juga merasa tidak begitu nyaman karena udah tempatnya kotor, bau dan ramai sekali. Aku begitu terganggu dengan situasi dan kondisi di pasar baru porong setelah lama aku di sana tiba-tiba aku kangen lagi. Sama Jatirejo lalu aku ajak ayah, ternyata ayah mau juga. Aku ajak setelah sampai disana aku menangis an aku menyuruh ayah agar ayah meninggalkanku sendiri.
Setelah ayah ninggalin aku disitu aku berteriak “Ya Allah tolonglah kembalikan rumahku, sekolahku dan pondokku apa salah dan dosa–dosaku sehingga engkau memberikan cobaan yang begitu berat bagiku tolong mudahkanlah cobaan yang yang telah engkau berikan kepadaku dan tabahkanlah hatiku dalam menjalani cobaan yang telah kau berikan padaku tiba-tiba dari belakangku ayah menjawab “Amiin” disini aku menemukan banyak harapan terutama harapan agar aku bisa pulang ke Jatirejo lagi.
Tapi ternyata harapanku pudar begitu saja lumpur begitu cepat melanda desa Jatirejo sampai-sampai Pondok dan sekolah yang dulu aku kira gak akan tenggelam ternyata tenggelam juga. Memang di pasar baru porong aku merasa berkecukupan dengan banyaknya bantuan mulai dari makan, minum, snack, alat-alat sekolah dan yang lainnya, tapi itu tetap tidak bisa membuat hatiku sesenang di Jatirejo yang lalu.
Hari berganti hari, munggu berganti minggu dan bulan berganti bulan aku bukannya merasa sedikit nyaman,; tapi aku malah merasa kenyamanan itu hilang begitu saja, aku terus berdo’a kepada Allah agar Allah memberikan aku tempat yang layak untuk belajar, agar aku bisa menggapai cita-citaku agar cita-cita yang dulu aku harapkan tidak pudar begitu saja agar aku bisa berkumpul dengan teman-temanku dan agar “Lapindo” Cepat mengganti rumah, sekolah dan pesantren yang telah dia tenggelamkan.
Semua siswa ingin mempunyai kelas sendiri, yang bersih, berbau harus dan tidak mendengar suara yang begitu keas, tapi aku disini tidak bisa merasa senang karena duduk tidak memakai bangku, kelasnya kotor, bau dan terdengar jeritan adik-adikku karena kelasku cuma dibatasi dengan tabir yang tak begitu tebal, dan yang lebih parah dengan keadaan kami yang seperti ini, kami menjadi tak semangat belajar tapi, para dewan guru tetap mendukung kita dan menyuruh kita agar kita tetap tegar menghadapi bencana yang silih berganti.
Dan mulai sekarang hingga kapanpun aku tetap tidak bisa memaafkan orang-orang yang sudah ceroboh, yang sudah menenggelamkan rumah, sekolah dan pesantren. Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada mereka dan mudah-mudahan mere cepat mengganti rumah, sekolah dan pesantre.
Pengalaman di Pengungsian
M. Hidayani (kelas V SD Renokenongo I)
Aku mau kembali lagi dengan teman-teman dan aku mau sekolahku kembali lagi kayak dulu dan aku mau kembali ke rumah dan ke sekolah yang aku gak mau belajar terganggu lagi dan aku mau semua teman-temanku pun berpisah dengan teman-temanku dan aku mau semua kembali kayak dulu lagi dan semua orang dan semua pun kembali kayak dulu lagi dan semua orang di pengungsian pun harus kembali kayak yang di rumah dulu dan semua pun kembali kayak dulu lagi dan aku kepingin kayak dulu lagi dan aku tidak mau rumah yang kena lumpur dan semua pun harus bersama kayak dulu lagi.
Kalau semua bisa ganti yang baru dan aku mau tidak ada yang menderita dan aku bisa kembali kayak dulu aku ingin punyak rumah. Tidak enak di pengungsian banyak nyamuk dan dingin, panas, belajar jadi terganggu di situ ramai tidak bisa konsentrasi. Jadi susah mikirnya dan teman-teman aku pun juga bilang demikian gak enak ada nyamuk dan kalo mau mandi aku harus mengantri dulu. Karena aku harus mengantri kalau tidak mengantri dan aku kalau dan aku sekolah aku mandi mengantri kalo tiak bisa mengantri aku tidak bisa mandi aku harus tidak akan bisa sekolah dan belajar inilah pengalaman di pengungsian.
Datul (SD Renokenongo I, 3 tahun di pengungsian Pasar Baru, Porong)
“Datul,” panggil Bu Nadia. Hari ini dibagikan hasil ulangan tengah semester, tepatnya, ulangan matematika. Saat aku maju untuk menerima hasil ulangan, Bu Nadia Wali Kelas ku menatapku dengan tajam
“Belajar yang rajin ay Tul, nilaimu Jatuh, “ suaranya lembut tapi keras ditelingaku.
Benarlah, ketika kubuka kertas ulangan itu, nilaiku hanya 30, oh Tuhan! Apa ini? Nilai 30! apa yang harus kukatakan pada ibu, bila ia bertanya nanti sepanjang pelajaran hari ini disekolah, aku tak bisa berkonsentrasi. Pikiranku melayang tak karuan.
Saat pulang, aku langsung ke kamar, tak kuhiraukan panggilan Ibu untuk makan. Aku memutar otak untuk menutupi nilai jelekku. Ku tatap angka 30 itu lama sekali, sampai akhrnya kutemukan cara yang jitu. Mau tahu?
Kuubah angka tiga itu menjadi delapan dan coretan pada angka yang salah ku beri pembetulan. Ah, ibu pasti tidak tahu. Pikiranku bisa jahat juga, ya?
“Mana hasil ulangannya, Tul?” Tanya Ibu saat aku makan. Deg. "Sebentar kuambilkan Bu,” jawabku mencoba santai.
“Bagus juga ya. Tapi kok banyak kesalahan yang di betulkan begini?” Komentar Ibu.
“Nggak tahu ya, Bu Guru juga yang koreksi, jawabku menghindar. Beruntung ibu tidak bertanya lagi. Namun hal itu sangat menyiksaku, bahkan sampai malam hari, saat aku pergi tidur. Apalagi saat kudengar suara mesin jahit ibu. Selarut itu ia masih bekerja, kok tega aku membohonginya. Aku pun keluar kamar. Aku memeluk Ibu dari belakang dan meminta maaf atas kebohonganku.
“Ibu senang akhirnya Datul mau jujur. Ibu sebenarnya sudah curiga. Jangan diulangi lagi ya sayang” kata ibu.
Hendra Hermawan (kelas VI SD Renokenongo I)
Pada tanggal 26 Mei 2006, petugas PT. Lapindo Berantas mengebor di daerah
Tidak lama kemudian, ada pipa yang didalam bumi itu bergesek di dalam tanah yang sangat dalam, lalu itu meledak yang ada di dalam Bumi itu mengeluarkan api yang sangat besar yang merengut nyawa orang yang lagi bekerja yang ada di Lapindo.
Lalu tidak lama lagi rumah-rumah yang ada di desa
Berapa banyak yang dikeluarkan untuk korban lumpur panas yang ada di pengungsian akibat ada bencana lumpur panas lapindo. Lalu saya terpisah dari tetangga dan teman-teman saya lalu lapindo membuat tanggul-tanggul baru.
Lumpur Lapindo
Tri Wulandari (kelas III SD Renokenongo I)
Setelah 2 hari saya pulang kembali kerumah saya karena banyak yang bilang sudah aman, tapi setelah itu lumpurnya meluber kemana-mana. Akhirnya saya dan semua warga mengungsi lagi ke balai desa Renokenongo selama 3 bulan, di sini saya sangat sedih sekali karena tempatnya sangat sempit dan juga dihuni oleh banyak orang barang-barang saya pun banyak yang ketinggalan di rumah kecuali baju-baju. Tiap malam saya tidak bisa tidur karena banyak nyamuk dan juga kedinginan serta kepanasan.
Mandi pun juga bergantian, aduh, pokoknya gak enak bangets deh!
Setelah 3 bulan menunggu di balai desa saya dan semua orang disitu diberi uang Kontrak. Akhirnya saya kontrak di perumtas I. Di situ saya baru senang karena punya banyak teman, tapi itu berlangsung cuma sebentar karena lumpurnya meluber kesitu juga, saya dan keluarga saya tambah sedih sekali karena baru saja punya tempat tinggal untuk berteduh akhirnya terkena luberan lagi.
Jam 3 malam saya dan keluarga saya lari-lari untuk menyelamatkan diri dari kejaran lumpur Lapindo lagi. Akhrnya saya pun kembali mengungsi di rumah nenek saya di desa Ngampel Sari lagi, karena di
Dan saya juga sangat sedih sekali melihat korban lumpur lainnya yang sekarang masih ada di tempat pengungsian Pasar Baru, Porong. Di sini sekarang saya merasa senang karena saya mempunyai banyak teman yang sayang sama saya, tapi saya juga sangat sedih karena kepikiran tempat tinggal saya yang tenggelam oleh lumpur Lapindo itu, kadang-kadang saya masih ingat waktu main sama teman-teman di rumah, yang lama, gara-gara Lapindo saya sekarang pisah sama teman-teman saya yang lama dulu.
Alhamdulillah, sekarang rumah di bayar, walaupun cuma
Lumpur Lapindo
Nurul Hidayati (kelas V SD Renokenongo I)
Dan juga banyak orang setres memikirkan rumahnya. Sesungguhnya ini kehendak yang Maha Kuasa aku bersabar menghadapi segala cobaan. Meskipun aku tinggal. Di pengungsian. Aku tidak pernah putus asa. Dan aku harus semangat demia sekolah dan demi cita-citaku. Dan saya pun rela tinggal disana walaupun htiku sangat sedih dan kecewa. Apa boleh buat saya tinggal dipasar. Saya tidur pun tidak nyaman banyak nyamuknya. Dan mandinya aja antri. Dan aku ada dirumah saya yang dulu aja bahagia.
HACURNYA HIDUPKU
Sungguh senang sekali hidup ku di masa yang lalu. Penuh tertawa, ceria, dan gembira. Tapi tiba-tiba perasaanku mengatakan? Dimana rumahku tempat aku dibesarkan hilang dalam sekejap saja? Tiada hujan, tiada petir datanglah lumpur saawh-sawah, ruimah, pohon, toko,itulah yag dihancurkan oleh lumpur. Kini hidup keluargaku sengsara dia tidak punya tempat tinggal untuk di tinggali. Tapi akusadar aku tidak akan berakhir disini karena aku masih punya kehidupan yang panjang.
Hari demi hari kujalani untuk mencari tempat tinggal. Akhirnya aku mendapatkan tempat tinggal yaitu : Pasar Baru Porong. Kini hidupku merana, aku kehilangan teman yang aku butuhkan diwaktu seidh/sudah. Tapi sekarang aku sudah tidak punya tempat tinggal lagi atau rumah, karena rumahku sudah dihancurkan oleh lumpur. Aku juga kehilangan nenek yang aku butuhkan diwaktu kecil. Ya Tuhan kembalikanlah rumahku seperti dulu lagi Ya Tuhan, karena tempatnya sempit nyamuknya banyak dan aku tidak bisa tidur.
Tapi gak papa aku akan selaluk semangat dan selalu belajar lebih giat lagi untuk sekolah dan aku dapat mencapai cita-cita yangaku inginkan. Tapi saya akan tetap minta ganti rugi oleh pemerintah?
Aku tidak ingin berbuat kasar kepada orang tua Cuma gara-gara tinggal di pasar baru porong. Dan orang tuaku akan terus mencarikan nafkah hanya untuk anak-anaknya dan keluarga. Tapis ekarang keluargaku ingin hidup rukun seperti aku masih punya rumah.
KARYA CIPTA
Nama : FITRIYAH NINGSIH
Kelas : V (
Sekolah : SD RENOKENONGO I
Alamat : Reno/Pasar baru Blok P.8
GEDUNG SEKOLAHKU YANG TERENDAM
IDA MAULIDA (Kelas 6 MI Ma'ari Jatirejo)
Tapi alhamdulillah saat itu Jatirejo belum tenggelam jadi, aku dan teman-teman masih bisa sekolah seperti biasa, hanya saja kita tidak konsentrasi karena pada saat pelajaran kita selalu saja mencium bau lumpur yang tak sedap.
Teman-temanku banyak yang mengungsi, tapi ada juga yang tidak mengungsi karena rumahnya belum tenggelam, teman-temanku kalau sekolah naik kendaraan dari pengungsian, mereka sangat sedih karena mereka harus tinggal di pengungsian yang kumuh, bau dan kotor.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan, lumpur mulai meluber terus menerus, air lumpur pun makin bertambah banyak dan pada akhirnya menenggelamkan Jatirejo, sekolahku pun juga tenggelam aku dan teman-teman sangat sedih karena kita sudah tidak bisa sekolah di Jatirejo lagi, dan sejak lumpur itu menenggelamkan Jatirejo dan gedung sekolah, teman-teman banyak yang pindah dari sekolah. Aku merasa sangat sedih karena harus berpisah dengan teman-teman.
Sekarang murid-murid dikelasku hanya tinggal tujuh, rasanya, sepi sekali tanpa teman-teman yang lainnya, andai saja dulu tidak ada lumpur panas Lapindo pasti aku tidak akan kesepian tanpa teman-teman yang sudah pindah, aku merasa sangat kecewa karena harus kehilangan banyak teman, padahal dulu temanku sangat banyak sekarang malah cumah tujuh.
Sekarang aku sekolah di Posko Gus Dur (Pasar Baru Porong) aku sangat kecewa sekali, aku kira aku akan mendapat tempat seperti yang di Jatidejo, tapi ternyata aku akan dapat tempat yang suasanya sangat bising, tapi aku masih tetap bersyukur karena Allah masih memberikan aku tempat untuk menimba ilmu, walaupun tidak selayak seperti yang ada di Jatirejo. Di sini aku dan teman-teman menunggu kapan kita akan mendapat gedung sekolah baru, dengan fasilitas yang lengkap seperti di Jatirejo.
Beberapa tahun lamanya aku menunggu kapan akan seperti dulu lagi, berkumpul dengan teman-teman yang sudah lama pindah dari sekolah, aku sangat merindukan teman-temanku yang dulu, tapi apa mereka juga merindukanku? Aku sangat kecewa pada orang yang telah merusak kebahagiaan serta ketentraman kami, tapi tak apalah kita harus bersabar menghadapi cobaan dari Allah, mungkin suatu saat nanti Allah akan memberikan jalan kebahagiaan pada kami yang terkena musibah ini.
Tapi aku masih belum rela pada mereka (PT. Lapindo) yang serakah dan ceroboh itu, mudah-mudahan Allah memberikan hidayah dan mudah-mudahan mereka (PT. Lapindo) cepat mengganti rugi sekolahku yang sudah hilang.
Tapi saat sekian lama aku merasa kesepian, sekarang aku sudah tak pernah merasakannya lagi, karena sekarang aku berada di Pesantren yang bisa menghiburku, di pesantren itu aku merasa hari-hariku berwarna dan lebih berarti, tapi meskipun begitu, aku tetap merindukan teman-teman yang sudah lama pergi dari sisiku, setiap hari aku selalu berharap pada Allah SWT supaya aku dapat berkumpul dengan semua teman yang sudah lama sekali jauh dariku, agar kita dapat selalu bersama dan kita dapat menjalani persahabatan atau pertemanan yang abadi, dan satu hal lagi yang aku harapkan yaitu semoga Allah selalu memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga aku beserta teman-temanku dapat meraih cita-cita demi bekal masa depan yang cerah dan bahagia, dengan prestasi sekolah yang baik, serta ilmu yang bermanfaat agar suatu saat nanti aku beserta teman-temanku dapat mengamalkan ilmu itu kepada orang-orang yang membutuhkan.
SI BUTA DAN SI BONGKOK
Konon pada zaman dahulu ada dua orang cacat, yang seorang bongkok dan yang seorang bermata buta. Mereka sangat akab. Kemanapun pergi mereka selalu bersama. Di samping itu mereka juga saling membantu dalam segala hal.
“Hai bongkok kita pergi ke pasar”, ajak si Buta
“Ayo, aku tidak kebeatan”, jawab si Bongkok “Kamu mau beli apa di pasar?”
“aku mau beli barang keperluan sehari-hari”
“Kamu lagi banyak duit ya?”
“Tidak kebetulan saja kemarin aku diberi uang oleh saudaraku”
“Barapa banyak?”
‘Coba htung, ini uangnya!”
Si Bongkok menghitung uang si Buta, setelah dihitung ternyata jumlah uang si Buta cukup banyak
“Wah, uangmu cukup banyak, akan kamu belanjakan apa uangmu itu?” tanya si bongkok
“Aku ingin beli beras dan daging” jawab si Buta
“Hebatsekali kamu membeli daging!”
“Ya, sekali-kali kita makan daging, itu pun kalau unagku cukup”
“O, tentu cukup”
Pada esok hari, ketika mentari mulai bersinar, si buta dan si Bongkok berangkat ke pasar, sepanjang jalan, dengan hati-hati
Si Bongkok menuntun si Buta sampai di Pasar
Si Bongkok lalu membeli beas berbagai kilogarm
Setelah itu Ia menuntun si Buta ke Kios daging dan membeli setengah kilogram daging
“Uangmu masih sisaw”, kata si Bongkok
“Berapa duit?”Jawab si Bua. “Ya lumayan banyak, kamu akan belikan apa lagi?”
“Kalau masih cukup, belikan telor dan kerupuk”.
“Wah , uang mu hnaya cukup untuk beli telor saja”.
”ya belikan saja telor sehingga kita tidak pergi-pergi lagi ke pasar.”
“Kalau begitu maumu, uangmu akan ku belanjakan setengah kilkogram telor” setelah itu mereka bergegas pulang. Sampainya di rumah, merekadengan semangat memasak nasi dan daging. Tidak lama kemudian nasi dan daging pun matang.
“Kalau sudah matang, ayo kita makan”, ajak si Buta, si Buta mengambil sepiring nasi dan sepotong daging. Begitu pula si Bongkok mengikuti mengambil sepiring nasi dan sepotong daging mereka lalu makan bersama . si Buta makan dengan lahap. Tetapi daging yang ia makan amat keras, berkali-kali ia kunyah, daging itu tidak hancur. Ia lalu menelan daging itu dan menyangkut di tenggorokan.
KARYA CIPTA
Nama : WELMI DIAJENG NATALIA
Kelas : III (Tiga)
Sekolah : SDN Kesambi
Alamat : ……………………
Perjuangan Paguyuban Pasar Baru Porong Di
Dian Utami (SMPN 3 Porong)
Beda Rumah Dan Tempat Pengungsian
Sayyidatul Kurniati (kelas IV MI Ma'arif Jatirejo)
Di desa saya telah terjadi bencana. Jika, sebelumnya, gempa yang terjadi beberapa saat saja ketika saya mau berangkat sekolah. Sekarang, bencana yang lain lumpur, ketika malam hari, saat saya ingin mencuci muka. Saya mencium bau yang tidak sedap, lalu saya mencari bau dimana itu? ternyata baunya berasal dari air yang ada di kamar mandi. Saya pun mengira, bahwa lumpur telah datang di rumah saya, setelah itu saya tidur kembali.
Tiga Tahun Lumpur Lapindo
Ratih Titi Sari (kelas lima SD)
Sudah tiga tahun Lapindo melanda desaku Renokenongo. Aku masih ingat, pada 2006, PT Minarak Lapindo Brantas mengalami kebocoran pada pengeboran gas pertama kali yang keluar dari perut bumi itu lumpur keruh berwarna hitam dan bau lumpur yang menyengat dan yang tidak tahan dengan bau itu pasti pusing bahkan bisa muntah-muntah.
Nasib Desaku
Eni Purwanti (Kelas VIII SMPN 2 Jabon)
Nikmatul Maula (SMU Bhayangkari)
Pyarr
Daris Ilma
24 Juli 2008 menjadi hari yang sangat penting bagi warga Desa Besuki karena pada tanggal tersebut diadakan rapat di rumah Pak Arip di Besuki Timur Tol. Diadakannya rapat ini untuk membahas masalah langkah ke depan Desa Besuki Timur Tol yang tertinggal karena tidak masuk dalam peta terdampak 2008.
Pyarr
Daris Ilma
24 Juli 2008 menjadi hari yang sangat penting bagi warga Desa Besuki karena pada tanggal tersebut diadakan rapat di rumah Pak Arip di Besuki Timur Tol. Diadakannya rapat ini untuk membahas masalah langkah ke depan Desa Besuki Timur Tol yang tertinggal karena tidak masuk dalam peta terdampak 2008.
Tua, Muda, laki-laki, perempuan dan anak kecil campur jadi satu. Sayangnya aku dan ibuku tidak bisa hadir dalam rapat itu karena karena kami beserta beberapa orang lainnya pergi ke pasar baru Porong untuk menyaksikan pemutaran film korban lumpur dari berbagai desa termasuk desaku.
Kami dijemput beberapa orang dari pasar Porong, seperti tuan putri aja. Pemutaran film dilaksanakan pada malam hari sekitar pukul 07.30 kami dijemput pukul 07.00. bulan bersinar tak begitu terang sehingga kegelapan yang kami rasakan ketika memasuki mobil berpoles coklat muda. Aku, ibu, dan salah satu tetanggaku duduk di bagian tengah, lainnya berada di belakang. Klik… pintu terkunci otomatis. Mobil melaju perlahan melewati tanggul-tanggul yang semakin hari semakin dekat dengan rumahku.
“Eh… ko’ cendelanya terbuka sendiri?” kata bu sanik yang duduk di sebelahku
“Lah tadi ibu ngapain?” tanganku sambil memencet kembali tombol yang melekat di pintu.
“Mobil sekarang canggih ya! Tinggal pencet nutup sendiri!”
Entah mengapa semua tertawa
Akhirnya sampai juga di Pasar Porong. Kami berjalan menuju gerombolan orang yang telah datang terlebih dahulu. Beberapa menit kemudian Film diputar. Orang-orang begitu senang melihat wajah mereka terpampang.
“Lho, iku lo aku!” Celetuk ibu setengah baya yang kegirangan melihat dirinya sendiri
Lama sudah kami menyaksikan keluh kesah para korban lapindo yang dirangkum dalam film pendek. Gambaran dari Renokenongo dan Permisan telah selesai. Kini, giliran desaku. Sepertinya suasana bertambah ramai ketika pemuratan film desaku. Ibu-ibu dari desaku sedikit berteriak untuk mengungkapkan kegembiraannya melihat rumahnya ikut masuk dalam gambar. Sekita pukul 11.00 acara selesai kami diantar pulang.
Sesampainya di rumah kondisi jalan begitu sepi, tak seperti biasanya. Semua sudah turun dari mobil. Sebagian ada yang langsung pulang dan sebagian lagi memilih untuk melangkahkan kakinya ke tempat rapat yang belum juga selesai. Aku memilih tidur.
“Ris, ibu ke Wak Arip dulu, liat rapat kok belum selesai juga.”
Aku hanya mengangguk sembari melepas kerudung.
Aku tak bisa tidur dengan tenang, sedikit-sedikit kubuka mata melihat jarum jam yang terus naik. Lama sudah kumenunggu. Akhirnya kuputuskan untuk melihat kondisi luar. Sepi, dingin dan gelap. Hanya itu yang bisa kurasakan. Aku kembali tidur tapi di ruang televisi.
Beberapa menit kemudian ayah dan ibuku datang. Kubuka mata dan bergabung dengan mereka. Kudengarkan baik-baik kata yang keluar dari ayahku. Ia berkata bahwa rapat itu dihadiri oleh Pak Helmi (anggota DPRD dari frkasi PKS), Pak Syaiful Bakhri (perwakilan besuki timur Tol), Ali Mursyid (Perwakilan besuki Barat Tol) dan seluruh warga Besuki Timur Tol dan Barat Tol yang menempati bekas jalan tol Surabaya–Gempol karena rumah mereka telah tergenangi lumpur akibat jebolnya tanggul penahan lumpur.
Rapat dibuka oleh Pak Syaiful Bahri. Dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan kepada seluruh warga apakah mereka masih ingin wilayahnya masuk Peta atau tidak. Secara serempak mereka menjawab kalau masih ingin wilayahnya masuk Peta terdampak terdampak 2008.
Salah satu dari mereka ada yang mengajukan pertanyaan ia adalah pak Irsyad yang tak lain ayahku sendiri, ia bertanya, ”Apa alasan Besuki Timur Tol bisa tertinggal dalam pemasukan Peta terdampak tahun 2008? Padahal
Warga mengetahui bahwa kawan BKL dan pak Irsyad ke
Dalam pertemuan itu dibuat perencanaan tentang aksi ke
1. Pak Rokhim menyetujui hasil musyaawrah dan seluruh peserta dalam pertemuan itu mengetahui hal itu.
2. Pak Rokhim dkk (BKL) tidak bisa berangkat besama karena mereka sudah tanggal keberangkatannya yang berangkat lebih akhir. Ia juga berkata bahwa mereka akan bergabung dengan koalisi korban lumpur ketika sampai di Jakarta.
Tapi ternyata ketika sampai di
Pertanyaan dari ayahku tadi dijawab oleh Pak Mursyid yang dulunya juga berjuang bersamanya. Tapi karena perbedaan pendapat, mereka tidak bersama lagi. Sebelum menjawab. pak Mursyid meminta izin pada pak Syaiful untuk menjelaskan kejadian sebenarnya di
Agar tidak menimbulkan fitnah dan ayah juga sudah capek menjadi kambing hitam yang bertanya siapa nama orang itu. Tapi tetap saja Pak Mursyid tak mau menyebutkan nama yang ia maksud. Karena geram par Irsyad berdiri hendak menghampiri Pak Mursyid seraya berkata dengan keras
“ Sebutkan namanya! “
Hanya selangkah dari tempatnya ia segera di tarik oleh Pak Kamisan yang tak lain adaah pendukung Pak Mursyid. Ia menyarankan agar mengurungkan niatnya setelah itu rapat menjadi kacau.
“Huuu …,” teriakan warga semakin membuat suasana bertyambah panas.
“Kita tidak perlu mencari siapa yang salah. Tetapi yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana caranya agar wilayah Besuki Timur Tol dapat masuk dalam peta terdampak tahun 2008”
Setelah memberi arahan, rapat pun selesai dan ditutup dengan do’a oleh Pak Helmi. Rapat selesai. Semua membubarkan diri . tapi ketika ayahku kelur dari ruangan terdengar suara orang-orang
“Wes, patenono ae arek iku! Sudah bunuh orang itu,”
Yang lain bilang, “kuburen orep-orep wong iku (kubur hidup-hidup orang itu).”
Warga mulai membentuk kelompok masing-masing untuk membahas kembali malah rapat. Ayahku tak langsung pulang, tapi ia menuju rumah Pakde. Di
Ayahku pulang terlebih dahulu dari tim BKL setelah mendengarkan dengan seksama. Mereka juga menyalahkan sikap Pak Mursyid yang terlalu berani berbicara tanpa fakta.
Setelah lama mendengarkan ayah bercerta, aku pun tidur. Tapi satu hal yang tak mereka ketahui bahwa ayah membawa alat perekam yang ia kalungkan. Semua isi rapat tersimpan rapi. Ia juga mendengarkan hasil rapat tersebut pada keluarga dan kawan-kawannya.
Bsru kali ini aku merasa bahwa keluargaku perlu berhati-hati dan tetap waspada. Tapi ayah tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Hari berikutnya ketika matahari akan terlelap Handphone ayahku berbunyi setelah menerima telepon itu, Ibu, Adik dan nenekku berpamitan akan pergi ke
Aku jadi kerepotan mengurus segala sesuatu. Menyapu, memasak semua menjadi tanggungjawabku, aduh. Ibu cepetan pulang donk! Semua kekhawatiranku tidak terbukti. Hari-hari setelah rapat tak ada yang terjadi. Ucapan warga yang ingin membunuh dan mengubur hidup-hidup ayahku tak terbukti. Itu hanyalah bualan kupikir mereka hanya ingin menakuti keluargaku. Aku pun tenang
Tepat satu minggu setelah rapat……
Pyarrrr………..
Ya….. kaca rumahku pecah tepat pada tanggal 30 Juli 2008.’ Aku masih terbawa oleh mimpi indah yang diberikan sang Khalik. Ayahku jug tertidur di ruag tengah dengan televisi yang masih menyala.
Ketika kaca pecah, aku dan ayah tak segera bangun. Memang aku mendengar sesuatu pecah. Tapi aku berfikir kalau itu adlah toples pecah. Aku kembali tidur. Mataku serasa ada membuka dengan paksa. Aku terpaksa bangun dan membuka pintu kamar meski mata masih terasa perih dan masih ingin memeluk bantal
“ Yah, ada apa ini”
Itulah hal pertama yang kukatakan ketika melihat serpihan kaca yang berserakan hingga ke ruang tengah, perih dimataku seketika hilang. Ayah membuka tirai penghalang ruang tengah dengan ruang tamu.’ Aku mengikutinya dari belakang aku takut! Takut sekali! Takut jika ancaman warga menjadi kenyataan aku segera berbalik menuju dapur.
“Alhamdulillah!” Ucapku ketika melihat kondisi dapur yang baik-baik aja. Aku menyusul ayah ke ruang tamu. Kulihat serpihan kaca yang memenuhi lantai. Batu yang seukuran kepala bayi tak luput dari pandanganku.
“ Jangan!” Teriak ayah yang melihatku ingin mengambil batu tersebut aku segera menarik lenganku.
“kenapa yah!”
“Biarkan batu itu ditempatnya. Nanti ayah akan ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian ini. Biarkan semua pada tempatnya. Biar polisi tahu bagaimana kondisi sebenarnya”
Nikmatul Maula (SMU Bhayangkari)
Tapi apa mau dikata peristiwa itu sudah terjadi 3 tahun yang lalu, tapi luka in terus membekas di hatiku, di pikiranku bahkan di hidupku. Peristyiwa yang gak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun, “ Peristiwa Lumpur Lapindo.”
Masa kanak-kanak, kuhabiskan di
Ganti-rugi tak kunjung terselesaikan, kita pun sebagai korban atas keserakahan oknum-oknum tertentu. Kita tidak menikmati hasil, tapi kita memperoleh kesengsaraan itu, aku hanya sanggup berdo’a agar ganti-rugi segera terealisasi dan meninggalkan tempat pengungsian itu. Tapi itu mungkin masih mimpi buat aku dan para korban Lapindo lainnya.
Aku ingin segera meninggalkan tempat pengungsian ini, tempat yang sangat ramai, tak nyaman buatku. Tapi apa yang harus kulakukan. Aku hanya bisa menangis dalam hati di dalam gelapnya malam. Aku tak mau menyesali takdir. Aku harus bangkit, harus tetap semangat untuk hidupku satu harapan besar selalu aku panjatkan agar pemerintah dan segenap oknum-oknum Lapindo segera membayar 80 % sisa ganti rugi.
Seandainya ganti rugi semuanya terlunasi, apakah aku bisa tersenyum seperti semula? Apakah canda-tawa, keriangan akan kembali lagi? Mungkin dari luar aku bisa tersenyum lega, tapi di dalam hatiku tak mungkin aku bisa tersenyum ikhlas, karena rumah sederhana telah hilang ditelan lumpur. Mungkin aku bisa membuat rumah yang lebih mewah dan megah tapi kenanganku di rumah sederhana tak bisa diganti oleh rupiah yang banyak.
Di Era Globalisasi
Fahimatul Ainiyah
Di era globalisasi teknologi bertambah maju pesat, desaku terendam lumpur. Dulu sebelum ada pengeboran minyak di desaku Renokenongo, desaku amat indah dan subur. Di kala pagi tiba sawah hijau menghampar, burung-burung terbang berkicau menyambut pagi tiba, petani berangkat ke sawah menunaikan tugasnya, karyawan pabrik berangkat berduyun-duyun memenuhi jalan, sedangkan aku siap-siap berangkat ke sekolah. Begitu indah, damai di hati.
Semenjak desaku ada pengeboran minyak, harapan warga desa bisa menjadi desa maju dan sejahtera. Namun apa daya malah jadi petaka bagi desaku. Melihat kebocoran pipa gas seakan-akan tidak bisa menenggelamkan desa seluas itu. Ledakan pipa gas seperti hari kiamat datang. Semua mencari keselamatan sendiri-sendiri yang tua- tua tanpa berbaju lari sejauh-jauhunya tanpa tujuan hati saya gemetar-takut melihat pemandangan seperti itu.
Sesudah kejadian itu hari-hariku diselimuti ketakutan yang amat dalam. Di sekolah belajar tidak tenang, namun kujalani saja. Kini giliran rumahku, rumah neneku, rumah budeku semua terendam lumpur. Kenyamanan hidupku benar-benar terenggut. Saya hidup di rumah kontrakan. Keluarga dan famili banyak yang hidup di pengungsian pasar baru, Porong. Tetangga dan teman-temanku hidup menyebar. Tak tahu dimana mereka tinggal.
Keserakahan Manusia
Dzurrotun Nashihah alias Endur(kelas VII SMP Dharma Wanita II Porong)
Karena Lumpur Aku Kehilangan Semuanya
Mu’aifah (Kelas VII B SMPN 2 Porong)
Waktu itu aku dan keluargaku terkena musibah dan tak hanya keluargaku tapi semua orang dan teman yang telah tinggal di desaku, desa kami. Waktu itu, aku dan keuargaku panik setelah aku berkemas barangku, aku mengungsi di Pasar Baru, Porong sampai sekarang.
Sekarang aku masih teringat kejadian waktu itu semua tampak jelas di ingatanku tapi aku masih bersyukur karena keluargaku telah selamat, luberan lumpur itu telah menghancurkan semua yang kupunya rumah satu-satunya telah hancur karena luberan lumpur itu. Ketika aku mengungsi aku belum terbiasa dengan semua ini, apalagi ketika malam setelah kejadian waktu itu aku melihat ayah dan ibuku yang tidak bisa tidur karena terbebani dengan kesedihan hati mereka.
Tak tampak lagi senyum di wajah kedua orang tuaku bagaimana tidak! Semua telah hilang dalam sekejap dan kini hanya kesedihan yang kurasakan.
Kalau saja waktu dapat berputar kembali dan aku boleh memilih aku tidak ingin semua itu terjadi dan aku selalu berdo’a agar lumpur itu dapat teratasi. Dan aku akan mengenang semua yang terjadi dan tak akan melupakannya. Dan sampai sekarang aku mengungsi di Pasar Baru Porong, di sinilah tempat berteduhku dan tempat tidurku tempat keluargaku berkumpul dan melewati hari-hari.
Harapan Yang Hampir Musnah
Cici Dwi Indayani (MAN Bangil)
Sebuah ledakan hebat merusak keheningan. Riuh suara gemuruh datang. Teriakan-teriakan penuh panik berlomba dengan suara gemuruh entah darimana datangnya. Dengan sekejap saja air bah bercampur lumpur panas menghantam rumah-rumah kami. Masih kuingat suara minta tolong dari para tetanggaku.
“Ayo cepat San, Kita harus pergi dari sini. Berbahaya. Bawa yang perlu-perlu saja. Jangan pentingkan hartamu, urus nyawamu!” Teriak ayah.
Sedangkan aku hanya dapat berdiri mematung. Gelisah. Sebenarnya aku merasa penting akan semuanya. Tapi apa boleh buat. Yang kucari hanyalah ijazah S1-ku. Setelah itu segera kami pergi meninggalkan rumah, puing-puing kayu menghantam tubuhku. Ayah segera menolong dan menyeretku dari genang lumpur bercampur gas yang sudah selutut itu. Aku bergidik. Setelah kusadari, ah, ijazahku hanyut setelah terkena benda tadi. Aku menoleh ke belakang, sudah tidak mungkin mencarinya lagi, , kini nasibku hanya impian semata.
Beberapa bulan yang lalu, aku menyelesaikan studiku di salah satu fakultas swasta di Sidoarjo. Aku nyambi sambil mencari nafkah untuk biaya kuliahku. Ayah, aah, ayah sudah tidak seperti dulu lagi, gaji ayah tidak mungkin cuukp untuk makan sehari-hari di tambah biaya kuliahku yang tidak sedikit.
“Hasan kerja nggak apa-apa. Tapi jangan lupa sholat dan jaga kesehatan. Rajinlah kamu nak,” begitu kira-kira petuah ibuku.
Aku sebagai anak sulung wajib bekerja keras untuk masa depanku, juga keluargaku. Setiap hari, aku bolak-balik ke kampus dan ke bengkel tempatku bekerja sambilan. Dan aku bertekad akan membantu orang tuaku dengan cara apapun.
Sedangkan adik-adikku masih berumur 12 tahun dan yang bungsu berumur 7 tahun. Mereka masih kecil. Kondisi ayah yang sakit-sakitan menyulitkan perekonomian keluarga kami.
Masih kuingat saat pertama aku masuk kuliah jurusan otomotif. Ayah meminjam uang sana-sini hanya demi memasukkanku ke Universitas itu. Sungguh kerja keras yang tidak sia-sia karena aku sudah menyelesaikan S1-ku.
Namun setelah lumpur Lapindo memporak-porandakan harta kami yang cuma sedikit itu. Hidup kami hanya tinggal impian. Dalam tempat pengungsian padat dan sempit itu, aku temenung. Tak dapat kubayangkan apa yang akan aku perbuat setelah ini. Bagaimana nasib ayah, ibu, dan adik-adikku? Bagaimana dengan usaha dan kerja keras ayah demi kuliahku itu? Apakah hanya tinggal kenangan yang tak ada manfaatnya kini. Oh, ayah maafkan Hasan?
Beberapa minggu sudah kami tinggal ditempat pengungsian. Amin, teman seusiaku, mengajakku berbuat sesuatu untuk perubahan. Ya! Kami mencari kerja. Kesana-kemari kami mondar-mandir. Aku sudah pasrah akan nasibku. Kuserahkan semuanya pada Allah.
“Akhirnya kita bisa bekerja, mekipun hanya sebagai tukang pemecah batu ya.”
Suara Amin tak terdengar semangat sedikitpun. Meskipun kata-katanya mengandung syukur yang amat sangat. Aku tersenyum getir mendengar kata-kata Amin.
Sehari, dua hari, satu bulan sudah aku dan Amin bekerja sebagai kuli pemecah batu, kulitku yang dulu bersih, kini hitam legam.
Otot-ototku juga mulai tampak bermunculan. Tak jarang sesekali aku menangis. Menangisi nasibku sendiri.
“Apa ijazah S1 ku yang berjuta-juta itu hanya dihargai dengan pekerjaan berat ini? Pantaskah?” Aku bergumam dalam hati, lirih.
“San, mau melihat rumah kita? Sudah bersih lo. Tapi belum layak dihuni. Kita lihat yuk!” Pinta Amin. Aku hanya mengangguk.
Kulihat puing–puing berserakan disana-sini. Lumpur sudah mulai surut. Tinggal satu jengkal saja. Aku berdiri pilu memandang rumah tercintaku. Rumah mungil yang damai. Namun kini menjadi, ah aku tak tahu lagi apa namanya. Kuputuskan untuk melihat ke dalam. Sangat tak karuan. Memang sangat tidak layak di huni.
Nasib Desaku
Eni Purwanti (Kelas VIII SMPN 2 Jabon)
Namaku Eni Purwati, aku sekarang masih besekolah di SMPN 2 Permisan, Jabon.. Aku hidup bersama orangtuaku di desa Sentul, Tanggul Angin. Desa Sentul dulunya adalah desa yang tidak terlalu maju, bahkan bisa dibilang desa yang sangat tertinggal. Orang-orang hanya bekerja sebagai buruh tani dan pergi ke tambak untuk mencari ikan. Anak-anak pendidikannya juga hanya sebatas SD. Pengertian masyarakatnya mengenai ilmu pengetahuan terbatas.
Tapi itu dulu, sekarang desaku bagai berputar 1800 dari masanya. Kini desaku adalah desa sentra industri rokok, warganya sekarang banyak yang bekerja di industri-industri tersebut. Hebatnya pemilik industri tersebut adalah warga desa sendiri.
Sekarang sejak ada lumpur Lapindo yang menenggelamkan banyak tetangga desaku, aku akan segera bernasib sama seperti mereka. Tangul sekarang berada persis di perbatasan desa. Truk-truk besar pengangkut pasir selalu lalu lalang. Alat-alat berat mondar-mandir. Aku berfikir, kasihan sekali nasib desaku yang telah lama berjuang untuk bangkit, tapi kini desaku berada dalam posisi yang akan menghancurkannya. Hanya tinggal menunggu waktu kapan? dan kapan?
Perjuangan Paguyuban Pasar Baru Porong Di
Dian Utami (SMPN 3 Porong)
Pada 13 Juni 2007 aku diajak, ketua Peguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo untuk memperjuangkan pengungsi di Pasar Baru, Porong, ke
Beberapa lama kemudian seorang wartawan mendatangi kelompok kami. Dia bertanya, “untuk apa bambu runcing yang berada di pengungsian Pasar Baru, Porong itu?” “Apakah untuk perang?” Tanya wartawan tersebut sambil merendakan. Lalu kami menjawab “bambu runcing itu untuk semangat juang para korban lumpur panas Lapindo.”
Beberapa lama kemudian aku juga berfikir bahwa bukan kita aja yang direndahkan tapi anak pinggiran-pinggiran yang di
Pada waktu itu juga ada lomba melukis untuk memberikan semangat, sore hari kami pulang ke penginapan (di rumah seseorang) begitu capeknya kami, sehabis mandi kami menulis dan melukis sepanduk untuk dibuat pawai besoknya. Pada malam hari kami bertengkar dengan salah satu kelompok kami dari perwakilan Kedungbendo.
Pagi pun tiba, kami kesiangan untuk pergi ke Tugu Proklamasi manuju ke Monas. Kami terlambat begitu pawai dimulai kami merasa senang bahwa ada sedikit warga yang mendukung kami, dan kami mulai semangat lagi, kami begitu lelah. Sore hari kami kembali ke Tugu Proklamasi di
Tiga Tahun Lumpur Lapindo
Ratih Titi Sari (kelas lima SD)
Sudah tiga tahun Lapindo melanda desaku Renokenongo. Aku masih ingat, pada 2006, PT Minarak Lapindo Brantas mengalami kebocoran pada pengeboran gas pertama kali yang keluar dari perut bumi itu lumpur keruh berwarna hitam dan bau lumpur yang menyengat dan yang tidak tahan dengan bau itu pasti pusing bahkan bisa muntah-muntah.
Tidak hanya bau yang mengganggu bagi warga tapi lumpur juga memakan lahan dan tempat tinggal mereka. Bahkan jalur transportasi Malang–Surabaya jadi macet. Tidak cukup di situ, warga yang rumahnya kena lumpur Lapindo harus terpaksa mengungsi.
Warga Jatirejo ialah yang pertama kali mengungsi di Pasar Baru Porong, karena jatirejo berdekatan dengan lokasi semburan. Untuk warga Renokenongo diungsikan di balai desa Renokenongo. Sedangkan warga yang rumahnya tidak kena lumpur mereka mengungsikan sebagian barang-barangnya supaya tidak tergesa-gesa saat tanggul jebol.
Tanggul itu terbuat dari pasir untuk menahan lumpur supaya tidak menggenangi dan mengalir ketempat warga. Tapi tanggul hanya dari pasir jadi, tetap saja sewaktu-waktu jebol dan menenggelamkan rumah-rumah warga.
Tidak hanya tanggul jebol tapi ada kejadian yang lebih mengejutkan yaitu terjadinya ledakan aku tidak tahu dimana tempat ledakan itu terjadi yang pasti di tanggul utama kejadiannya itu memakan 12 korban.
Sejak saat itu semua warga
Tapi perlakuan yang diberikan pada warga yang mengungsi sekarang dengan yang dulu sangat berbeda, yang mengungsi sekarang makannya dengan ikan tanpa sayur. Bahkan warga pengungsian pernah mengadakan demo mogok makan, agar hak mereka dipenuhi dan diperlakukan layak.
Suasana pasar yang ramai kadang membuat kami lupa dengan apa yang kami alami. Karena keramaian itulah yang bisa menghibur kesedihan kami. Tapi sebenarnya kami merindukan kampung kami dulu. Punya rumah sendiri, jalan tidak macet, dan bisa melakukan aktifitas seperti dulu. Tapi kini semua berubah kami yang sekarang ngontrak harus sosialisasi dengan tetangga baru, teman baru.
Sampai saat ini warga masih menungu sisa pembayaran yang dijanjikan PT Minarak Lpindo Brantas. Dan sebagai warga sudah banyak yang keluar dari Pasar Baru, Porong karena pasar akan dipakai untuk berdagang.
Harapan Masa Depanku
Aku seorang anak kecil yang masih belum cukup umur untuk bisa merasakan pahitnya penderitaan. Namaku Iswatul, sekarang aku berusia 12 tahun. Aku ingin berbagi cerita tentang kepedihan yang aku rasakan kepada kalian semua para sahabatku yang setia pada suara FM.
Hal pertama yang akan aku ceritakan bahwa aku adalah anak yang periang dan ingin punya banyak teman. Aku juga mempunyai satu harapan yang ingin aku gapai untuk meniti masadepanku menjadi seorang yang berguna bagi nusa dan negara. Dan yang paling penting aku ingin membuat orang tuaku bahagia dengan melihat anaknya berhasil meraih cita-citanya menjadi seorang guru.
Oleh karena itu, aku selalu giat berlajar dan tidak mau mengecawakan kedua orang tuaku. Sampai pada saat itu, ketika umurku genap 9 tahun, terjadilah suatu musibah yang tidak pernah terlintas dibenakku. Entah aku masih belum mengerti apakah itu musibah atau mungkin ujian dari Tuhan yang diberikan untuk kami semua para penduduk desa Siring, Porong dan sekitarnya.
Tapi, kenyataannya, musibah itu disebabkan karena ulah manusia yang kurang bertanggungjawab pada pekerjaannya. Saat itu aku masih ingat betul, ketika semburan lumpur panas PT. Lapindo Brantas mulai menenggelamkan sedikit demi sedikit semua rumah–rumah penduduk di sekitarnya. Bukan hanya rumah-rumah saja melainkan seluruh bangunan pabrik-pabrik, gedung sekolah, tokoh-tokoh bahkan persawahan para penduduk juga ikut di telannya tanpa sisa. Aku dan keluargaku adalah salah satu diantaran ribuan orang yang menjadi korban bencana itu, hanya bisa meratapi nasib yang sudah menjadi takdir kami.
Aku tetap harus bisa tersenyum di hadapan orang lain, walau dalam hati ini menangis. Apalagi kesedihan ini semakin bertambah di kala aku menyaksikan banyak orang-orang yang masih belum merelakan seluruh harta bendanya raib begitu saja. Mereka bahkan sampai menjadi sakit, ada juga yang menjadi gila, dan yang lebih parah lagi ada yang meninggal dunia akibat tidak kuat menghadapi kenyataan yang pahit ini.
Namun, aku tetap bersukur karena masih beruntung bisa besama keluargaku yang sangat aku sayangi. Apapun yang terjadi aku sekeluarga harus bisa ikhlas dan tabah menghadapi semua ini. Walaupun aku sempat terpuruk dan kecewa dengan keadaan yang ada. Aku sesekali merasa kalau Tuhan tidak adil padaku. Aku merasa harapanku sudah redup, dan tidak tahu kemana akan kubawa harapanku ini. Aku ingin seperti anak-anak lain, yang nasibnya lebih beruntung daripada aku. Andai aku bisa memutar waktu, akan kucegah musibah itu supaya jangan sampai terjadi.
Namun, apalah daya nasi sudah menjadi bubur, inilah takdir yang harus kami jalani. Walaupun bantuan telah datang dan uang ganti rugi pun sudah diberikan kepada para korban dari pihak terkait, tapi aku rasa hal itu belum cukup, karena itu hanya menggantikan kerugian materiil saja, sedangkan kepedihan batin kami tidak bisa tergantikan oleh apapun jua, tetap terpatri dalam lubuk hati ini.
Sampai detik ini pun musibah itu masih belum reda, sudah hampir 3 tahun berganti bencana ini masih tetap membuat hati orang-orang takut dan bingung.
Dan seiring dengan berjalannya waktu akupun bisa menjadi semakin lebih dewasa dalam menyikapi hidup ini. Aku tidak boleh terpuruk pada keadaan, aku harus tetap semangat dan giat belajar. Aku ingin membuktikan kalau aku bisa membuat bangga kedua orang tuaku juga bangsa dan negara. Aku akan tetap berjuang untuk menggapai cita-citaku yang setinggi langit.
Aku harus bisa membahagiakan keuda orang tuaku, karena akulah yang menjadi harapan mereka satu-satunya saat ini. Aku juga berharap supaya para pemerintah mau mendengarkan jeritan-jeritan hati kami dan sungguh-sungguh menepati janjinya pada rakyat. Jalan hidupku masih panjang, dan akan aku jadikan sebagai harapanku masa depanku.
Itulah cerita hatiku teman-teman, dan terima kasih kalian sudah meluangkan waktu untuk mendengarkan ceritaku.
Sampai jumpa lagi di lain kesempatan.
Beda Rumah Dan Tempat Pengungsian
Sayyidatul Kurniati (kelas IV MI Ma'arif Jatirejo)
Di desa saya telah terjadi bencana. Jika, sebelumnya, gempa yang terjadi beberapa saat saja ketika saya mau berangkat sekolah. Sekarang, bencana yang lain lumpur, ketika malam hari, saat saya ingin mencuci muka. Saya mencium bau yang tidak sedap, lalu saya mencari bau dimana itu? ternyata baunya berasal dari air yang ada di kamar mandi. Saya pun mengira, bahwa lumpur telah datang di rumah saya, setelah itu saya tidur kembali.
Keesokan harinya, ketika saya sampai di sekolah. Tidak lama kemudian, semua wali murid menjemput teman-teman saya. Saya tidak tahu, mengapa warga di desa saya sangat sibuk. Saya disuruh ibu untuk segera cepat-cepat mengemasi barang-barang saya. Setelah itu saya diajak ibu untuk naik mobil TNI. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Waktu itu saya bertanya kepada ibu saya.
Kata ibu saya, lumpur akan segera datang di desa saya. Beberapa saat, warga di desa saya menangis.
Karena kehilangan rumah mereka. Warga di desa saya ternyata akan diungsikan di Pasar Baru Porong. Setelah sampai tujuan beberapa saat warga di desa saya diatur ditempat pengungsian. Seperti tempat tidur, memasak, dan kamar mandi. Setelah selesai diatur tempat, saya dan warga desa saya memilih tempat untuk peristirahan. Setelah selesai mendapatkan tempat, saya dan anggota keluarga saya merapikan tempat untuk istirahat.
Ketika akan tidur, saya harus berdempetan. Karena tempatnya kecil. Rasanya tidak menyenangkan. Jika dirumah saya dulu tempatnya sangat luas dan nyaman. Jadi terpaksa orang laki-laki dewasa harus tidur diluar. Keesokan harinya, ketika saya mau mandi harus antri. Karena lebih banyak orang yang mengungsi daripada kamar mandi di pengungsian.
Setelah selesai mandi saya berangkat sekolah tempat sekolah saya juga di pengungsian. Keadaannya berbeda sekali dengan sekolah saya yang dulu. Belajarpun rasanya tidak menyenangkan lagi sebab orang yang mengungsi bertambah banyak dan ramai jadi saya dan teman-teman saya tidak bisa berfikir. Setelah pulang sekolah saya merenung sejenak. Saya sangat sedih, rumah yang baru saja jadi. Sekarang diterjang lumpur. Apalagi saudara saya, baru saja membuat rumah.
Setelah beberapa hari di pengungsian, saya mengunjungi rumah saya, karena sudah diberi tanggul untuk menahan lumpur agar tidak meluber. Ketika sampai ditujuan, baunya sangat tidak enak setelah saya berkeliling saya dan keluarga saya kembali ke pengungsian ketika makan siang, ibu saya tidak memasak seperti biasanya karena sudah ada petugas yang memasak.
Rasanya makan tidak enak, karena biasanya tidak sesuai keinginan. Pertama kali di pengungsian warga di desa saya diberi bantuan. Berupa obat-obatan, makanan dan minuman. Peralatan dapur, dan juga buku tulis. Saya sangat senang sekali, karena masih ada yang peduli.
Berhari-hari banyak orang-orang yang peduli memberikan bantuan kepada anak-anak yang masih duduk di bangku SD. Diberikan tas, buku tulis, tempat pensil dan perlengkapan sekolah yang lain. Setelah berminggu-minggu berada di pengungsian, sekolah saya boleh ditempati lagi. Masuk sekolahnya siang jam sepuluh saya dan teman-teman saya berangkat kesekolah naik mobil TNI.
Sudah beberapa bulan, warga didesa saya berada di pengungsian. Banyak sekali, media yang ingin mencari informasi kepada warga korban lumpur Lapindo. Satu minggu kemudian warga didesa saya pulang ke Jatirejo. Untuk mengambil baang-barang yang sekiranya bisa diambil. Semakin hari lumpur semakin banyak. Warga desa saya belum juga mendapatkan ganti rugi. Padahal warga desa saya bersabar yang dibilang hanyalah janji-janji palsu belaka. Warga desa saya, tepaksa melakukan unjuk rasa untuk menuntut hak.
Sudah sering warga desa saya melakukan unjuk rasa di Sidoarjo. Tetapi tidak ada hasilnya, lalu diadakan istighotsah bersama di dekat tanggul bencana. Lumpurpun, kini telah meluber di daerah desa lain. Seperti Jatirejo, Siring, Renokenongo, Kedungbendo dan sekarang hampir mendekti desa Mindi. Sekolah saya pun, dipindahkan di Kedungboto. Masuknya tetap siang. Rasanya sangat tidak enak. Karena tidak bisa berfikir. Masuk sekolahnya siang, jadi agak sedikit mengantuk. Biasanya jika siang hari, waktunya saya untuk tidur siang.
Beberapa bulan, keluarga saya mendapatkan uang untuk mengontrak rumah. Hampir dua tahun saya tinggal di tempat kontrakan. Akibatnya keluarga saya dan saudara-saudara saya terpisah satu sama lain. Hingga memasuki tahun 2008. setelah masa kontrakan habis. Saya dan keluarga saya pindah kontrakan. Keluarga saya mencari tempat kontrakan yang dekat sekolahan saya karena pada saat masa kontrakan saya habis, sekolah saya dipindahkan lagi, dipasar baru porong. Tempatnya di Posko Gus Dur.
Hampir tiga tahun warga desa saya masih belum mendapatkan ganti rugi. Hingga warga di desa saya memutuskan untuk pergi ke
Melawan Lapindo
Ayo maju ayo maju
Kita lawan Lapindo
Ayo maju ayo maju
Kita lawan Lapindo
Jangan Takut kawan
Jangan takut kawan
Lapindo harus di lawan
Jangan Takut kawan
Jangan takut kawan
Lapindo harus di lawan